Akal Budaknya Perasaan: Jangan Pikir Dalam-dalam, Nanti Sakit Lho...
Fahruddin Faiz |
---
KALIMAT yang menghentak: akal adalah budaknya perasaan.
Mendengar budak kok rasa-rasanya orang yang terpinggirkan. Orang dikuasai orang lain: seperti tidak punya kemerdekaan. Harus patuh pada juragan. Apapun perintahnya.
Perbudakan sudah ada sejak masa Socrates, Plato, dan Aristoteles. Meski demikian, Islam kemudian membuat syariat untuk memerdekaan budak dan tidak mensyariatkan perbudakan.
Selengkapnya Baca: Akal Budaknya Perasaan: Jangan Pikir Dalam-dalam, Nanti Sakit Lho...
Tapi yang dimaksud dalam budak dalam kalimat di atas bukanlah budak: perbudakan manusia. Tetapi soal patuhnya akal terhadap perasaan. Seolah: akal "disetir" ego (perasaan).
Penjelasan dimulai.
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr Fahruddin Faiz mengatakan dalam pandangan Dostoyevsky antara lain tentang rasionalitas, intelektualitas.
"Yang pertama ini kalimat saya ambil dari crime and punishment," katanya.
Akal adalah budaknya perasaan.
"Ini menarik ya. Ini pandangan tokoh eksistensialis mirip dengan pandangan para sufi. Misalnya Imam Ghazali, akal itu hanya suruhannya hati. Meskipun, Imam Ghazali menyebutnya (akal) panglima perangnya. Dia (akal) hanya pasukannya," jelas Fahruddin lebih lanjut.
Dosen asal Mojokerto itu lalu memberikan pertanyaan.
Rajanya siapa yang menyuruh hati – qalbu? Kalau pakai istilahnya Dostoyevsky, akal itu budaknya perasaan. Perasaan kita menuju kemana? orientasinya apa? Akal akan mengikuti kesana.
Jadi akal bukan penentu. Kita itu senang dahulu. Biasanya terus akalnya datang untuk memberi pembenaran terhadap apa yang kita suka.
Atau, tidak suka dulu: “Sakjane aku ndak suka dengan orang itu.” Terus baru akalnya datang untuk memberi justifikasi memberi alasan-alasan argument: "aku ndak suka itu."
Bukan karena ada alasan-alasan ini, terus "aku ndak suka." Terbalik prosesnya, karena "aku ndak suka", maka aku cari alasan alasan yang membenarkan ketidaksukaanku.
"Jadi akal itu budaknya perasaan," jelasnya Dosen Aqidah dan Filsafat Islam ini.
"Kalau pakai dalil ini maka temen-teman yo ndak usah kaget. Kalau ada konflik-konflik dalam media sosial. Antar komentar, antar postingan itu sering tabrakan. Yang memang perasaan orang. Selera orang beda-beda," lanjut dosen dengan titel lengkap Dr. H Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag.
"Akalnya itu belakangan, orang itu suka dulu. Terus baru kemudian argument, dasar, alasan bukti. Itu (untuk) mendukung rasa suka dan tidak suka ini."
"Kalau kita sudah suka pada orang itu, kan terus akal kita kerja mencari baiknya orang ini apa saja. Sebaliknya kalau kita tidak suka pada seseorang juga begitu, akal kita akan bekerja mencari jeleknya orang ini, apa saja."
"Kalau kita sedang patah hati. Misalnya yo akal akan bekerja mencari apa yang kita butuhkan. Apa yang kita inginkan dalam hati kita yang patah. Mungkin kita nyari pelampiasan. Mungkin kita mencari pembenaran dari hati kita yang patah. Mungkin kita dan lain sebagainya. Nah itulah makanya akal itu budaknya perasaan."
Dijelaskan Dr Fahruddin. Kedua. Ini masih tentang intelektualitas - rasio. Kata Dostoyevsky rasa sakit dan penderitaan selalu tidak terhindarkan bagi pemikir yang besar dan perasa yang mendalam.
Menurut Dr Fahruddin orang-orang besar pastilah menanggung kesedihan terbesar di muka bumi ini.
"Nah ini saya lanjutkan ya pernyataan ini. Nyambung dengan quotes dari notes from underground. Ada kalimat begini: terlalu banyak berfikir itu penyakit," tandasnya dalam video di YouTube - chanel sinau filsafat. Judulnya: Terkadang Lebih Baik Tidak Tau Daripada Tahu.
Kadang-kadang dalam hidup ini, justru orang yang merasa sakit lebih besar - menderita - adalah mereka yang pintar: yang banyak berfikir.
Orang yang tidak terlalu banyak berpikir, tidak terlalu gelisah tentang hidup ini. Hidup ini dijalani saja. Dinikmati saja sesuai dorongan-dorongan dirinya. Tidak terlalu banyak pertimbangan. Ini lebih nyaman.
Dalam bayangan Dostoyevsky, kalau ada orang pintar, ada orang sangat terasa, itu hidupnya meski isinya kesedihan- kesedihan, kebingungan-kebingungan, kegalauan-kegalauan. Karena, memang itulah karakter dunia ini.
Ada banyak hal-hal tidak rasional yang terjadi, seperti tadi berhubungan dengan hukum alam dan lain sebagainya.
Maka kata Dostoyevsky terlalu banyak mikir itu penyakit. Ya manusia memang butuh berfikir. Tapi terlalu banyak berpikir, apa-apa mau diperdalam, apa-apa mau direnungi, kadang-kadang justru hasilnya adalah kesedihan-kesedihan. Hasilnya adalah rasa sakit dan penderitaan.
Maka jangan dikira orang yang sangat pintar itu enak. Dalam banyak hal kadang-kadang kita mending tidak tahu daripada tahu dalam banyak hal.
"Nanti teman-teman boleh direnungi. Ada banyak peristiwa, banyak kasus dalam hidup ini, yang lebih baik kita tidak tahu. Begitu kita tahu penderitaan kita bertambah. Rasa sakit kita bertambah."
"Kadang-kadang tentang hal-hal yang ngak penting. Misalnya ya, ada teman kita ngomong jelek di belakang kita. Itu kan kita ndak tahu. Saat kita ndak tahu kita nyaman saja bergaul dengan dia. Hidup kita cerah-cerah saja. Eh tiba-tiba ada yang cerita ke kita. Temen yang satu itu, kalau ngomong tentang kamu jelek. Drop kan kita, sedih kan kita. Akhirnya kalau bersama dia, sekarang isinya marah kita, ingin bales, ndak percoyo dan lain sebagainya. Pahit sekali hidup kita."
Ditandaskan Dr Fahruddin, tambah pengetahuan: tambah penderitaan. Ini cara membaca konteksnya seperti itu. Karena kadang-kadang memang dalam hidup ini beberapa hal lebih baik kita tidak tahu. Karena begitu kita tahu, penderitaan kita bertambah.
"Ada lagi yang menurut saya kalimat yang menarik dari Dostoyevsky tentang kecerdasan, tentang intelektualitas. Kata dia, diperlukan lebih dari kecerdasan untuk bertindak secara cerdas."
Pintar dalam pikiran saja tidak cukup. Orang juga harus pintar dalam keputusan dan tindakan. Pintar dalam keputusan dan tindakan inilah nanti yang dalam filsafat sering disebut bijaksana.
Jadi berpikir rasional saja. Berfikir kritis saja tidak cukup. Kita perlu berfikir yang bijaksana. Berfikir yang sesuai dengan konteks dengan situasi.
Yang disebut bertindak secara cerdas, tidak selalu kebenaran itu mungkin harus diungkapkan apa adanya. Adakalanya kita agak berputar sedikit. Adakalanya malah justru kita harus diam: biar tidak mengacaukan yang lebih besar. Ini namanya bijaksana.
"Yo teman-teman yang pengalaman hidupnya banyak nanti ngerti kok. Bagaimana bersikap bijaksana itu. Ya pertimbangannya tidak sekadar kebenaran yang rasional. Karena kalau kebenaran yang rasional saja, kadang-kadang kita keliru memutuskannya. Kalau hanya sekadar satu tambah satu = dua, yo kadang-kadang nggak pas."
"Seperti ceritanya konfusius tadi, kalau hanya sekadar melihat aspek, benar satu tambah satu = dua. Delapan kali tiga = 24, yo orang bisa kehilangan nyawa. Di sini pintarnya pembacaan situasi demi kebijaksanaan." (titahkita.com)
SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
“Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." HR. Muslim no. 1893
0 Response to "Akal Budaknya Perasaan: Jangan Pikir Dalam-dalam, Nanti Sakit Lho..."
Post a Comment