Jangan sampai Kehilangan Rasionalitas dalam Memahami Persoalan
Ustadz Adi Hidayat |
---
SEMUA yang dialami disebut musibah. Musibah itu bukan hanya sesuatu yang menyedihkan. Yang menyenangkan pun juga musibah.
Musibah berasal dari kata asoba. Kemudian sifatnya disebut dengan musibah.
“Asoba (artinya) semua yang kita alami. Jadi bisa terlihat menyenangkan. Senang melihat mobil baru. Lihat rumah baru, senang. Lihat yang bagus-bagus, senang. Sebetulnya, apa yang dialami setiap hari, itu musibah.”
Demikian penjelasan dari Ustadz Adi Hidayat -- UAH -- dalam kajian Musawarah.
BACA JUGA: Jahe Jenk Deri dengan Enam Varian, Original hingga Gula Aren
Ketika Umar bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah – level presiden - dalam pelantikan pertamanya, mempraktikkan ayat musibah: Al – Baqorah ayat 156.
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”
“Orang-orang yang hebat itu, orang – orang yang bahagia itu (setiap orang hidup) pasti akan mengalami liku kehidupan,” tandasnya dalam sebuah kajian di channel Youtube.
Allah akan menguji dengan berbagai persoalan. Yang didesain untuk meningkatkan kualitas hidup.
Ini bukan ingin membuat manusia bermasalah. Tapi, supaya kualitas hidupnya meningkat.
Tak ada persoalan, kualitas hidup tak akan naik. Itu sudah rumus.
“Anak SD saja, untuk bisa ke jenjang SMP melawati ujian dahulu. SMP ke SMA juga ada ujian. Ujian dibuat, bukan memberikan beban bagi siswa. Tapi, untuk mengukur kualitas ilmunya. Sudah layak naik atau belum?” jelas UAH yang saat itu mengenakan batik lengan panjang.
Dengan contoh ujian sekolah itu, jangan sampai kehilangan rasionalitas untuk memahami persoalan hidup.
Maka, kata Al-Quran, Allah menguji hamba-hambanya. Bisa berupa kegelisahan, kelaparan, kekurangan harta, sakit. Bahkan ada yang wafat, kekurangan buah-buahan.
Dijelaskan UAH, kalau ujian berupa kekurangan buah-buahan kurang objektif. Artinya yang diuji hanya tukang buah saja. Tukang sayur tidak.
Maka kekurangan buah-buahan dapat diartikan sebagai hasil kerja.
Secara spesifik, buah tersebut merupakan hasil usaha - kerja keras - yang (mungkin) dirampas orang.
“Anda yang kerja keras berprestasi, tetapi begitu ikut tender kok orang lain yang ambil. Itu diantaranya. Tapi pointnya bukan itu. Lihat ujungnya (QS 2 Ayat 156), berikan kabar gembira pada orang sabar saat menjalani ujian itu.”
Ada orang yang diuji malah gembira.
Hidup itu pasti bersanding dengan ujian, masalah, persoalan. Yang didesain untuk meningkatkan kualitas hidup. Ingat itu.
Jadi sepanjang orang hidup, pasti punya masalah. Tak ada orang yang hidup, yang tak punya persoalan.
Misalnya ada orang yang wajahnya kelihatan tenang-tenang saja. Ini belum tentu ia tidak punya masalah. Pasti ada masalah.
Kalau hidup, pasti punya persoalan. Kalau ada orang yang tidak ingin punya persoalan, dia tidak ingin hidup.
“Saya mau tanya. Siapa yang tidak ingin punya masalah?” cetus UAH kepada jamaah.
Hidup penuh masalah, hanya saja Allah memberi rumus bagaimana meringankan masalah itu. Sehingga sebelum mengalami (masalah), terasa ringan.
Orang yang berat menerima masalah itu, bukan karena masalahnya. Karena dia tidak belajar (solusi).
Allah memberikan berita gembira pada orang yang sabar. Jadi ada orang yang dapat masalah malah gembira.
“Umumnya (ketika dapat masalah) orang kan gelisah. Ini (malah) gembira. Bagaimana rumusnya gembira ketika ada masalah?”
Di rumah tangga ada masalah. Malah gembira. Dihadapin.
Anak ada masalah. Dihadapi dengan gembira.
Di kantor ada proyek, banyak masalah, dihadapi dengan gembira juga.
Semua dihadapi dengan riang gembira. Ini tidaklah mudah.
“Allah memberikan ajaran kepada kita, Aku (Allah) berikan sebuah rumus. Kalau diterapkan, maka sesulit apapun persoalan, dihadapi dengan kegembiraan. (solusinya) Sederhana, namanya sabar.”
Apa itu sabar?
Sabar itu bukan diam. Sabar itu bukan menunggu tanpa aksi. Sabar itu bukan menyerahkan persoalan tanpa tindakan.
“Sabar itu sebuah sikap. Yang ketika kita menerima apapun dalam hidup. Maka, yang pertama kita lakukan, hadirkan keyakinan dan komitmen pada jiwa kita. Maka sebetulnya, semua yang kita alami ini milik Allah.”
Kenapa Umar bin Abdul Aziz saat dilantik menjadi khalifah berucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un?
Padahal jabatan prestesius. Tidak hanya satu wilayah. Tapi banyak wilayah: Afrika, Libia, Tunisia, Maroko, Aljazair, Italia, Spanyol, Nusantara, termasuk Papua Nugini.
“Itukan jadi kebanggaan. Tapi apa yang diucapkan pertama kali. Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un. Beliau merasakan, bahwa semua ini hanya titipan dari Allah.”
Makanya orang yang merasa dititipi, diambil pun tidak akan kecewa.
Bisa belajar dari tukang parkir. Dia tidak merasa memiliki. Jadi ketika mobil Ferari pergi, tak menyesal.
“Ah Ferari. Gak harus foto-foto juga (dengan Ferari). Karena merasa, bukan miliknya. Ya kan? Gak harus buat status dengan mobil orang. Karena merasa semua ini diserahkan ke Allah. Sehingga tidak ada kekecewaan.”
Harta juga begitu. Anda dapat tambahan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un.
Kalimat tersebut, bukan hanya ditujukan untuk hal yang tidak menyenangkan. Tidak hanya pada kematian. Tidak hanya pada kecelakaan.
“Kenapa pada aspek yang menyenangkan tidak ada kalimat itu? Sehingga, karena kalimat itu tidak bersemangat di dalam jiwa, banyak orang kecewa.”
BACA JUGA: 100 Persen Laba Milik Mitra HANIYA Fried Chicken, Harga Kaki Lima Kualitas Resto
Kehilangan sesuatu: kecewa, marah, berselisih. Padahal hakekatnya, dia tidak punya. Pada akhirnya semua kembali kepada Allah SWT.
“Karena itu, orang-orang yang selalu diajarkan prinsip ini, semua milik Allah. Allah berkehendak, bisa diganti. Allah berkehendak, bisa ditukar. Allah berkehendak, bisa diambil. (dengan) Keadaan ini akan semakin kuat dan semakin dekat dengan Allah SWT.” (titahkita.com)
Tinggalkan Pesan di Kolom Komentar
SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
0 Response to "Jangan sampai Kehilangan Rasionalitas dalam Memahami Persoalan"
Post a Comment