Membedah Setan Jin dan Setan Manusia
Gus Baha |
Membedah Setan Jin dan Setan Manusia
---
PITUTUR dari Gus Baha -- KH Ahmad Bahauddin Nursalim --
tersaji kembali.
Yang disampaikan tentang identitas, sifat atau unsur,
hingga naskh-mansukh.
Penjelasannya dimulai dari jin dan manusia.
Dijelaskan Gus Baha, jin dalam terminologi fikih beda
dengan yang diterminologi tafsir. Yang diterminologi tafsir juga beda dengan
yang diterminologi perdukunan.
“Itu ada disiplinnya sendiri-sendiri,” tutur Gus Baha
dalam Youtube, channel Santri Gayeng.
Identitas dan Unsur
Dijelaskan, dalam disilpin ilmu tafsir ada istilah. Nama
bisa menjadi identitas.
Manusia -- identias.
Jin -- identitas.
Lalu, nama bisa muncul karena sifat atau unsur yang
melekat. Setan -- sifat/unsur.
“Ini bedanya jauh,” tandas kyai yang suka mengenakan
kemeja putih ini.
Dalam memberi penjelasan, Gus Baha menggunakan bahasa
campuran: Jawa, Indonesia, dan Arab. Dalam sajian di titahkita.com,
mayoritas sudah dibahasa Indonesia-kan.
Diterangkan, qolbun
maknanya hati. Berhubung hati bisa bolak-balik disebut qolbu. Kalau handphone
dibolak-balik, juga bisa disebut di-qolbu.
Nama-nama ini riskan pada konteks tertentu. Misalnya
begini: hati Rasulallah, hatinya para sahabat, hatinya para wali, tidak pernah
bolak-balik. Mereka selalu konsiten dalam kebenaran.
Nama itu hanya mengambil sekian sampel. Hati yang ada di kita-kita ini bolak-balik -- bisa
berubah-ubah, tidak konsiten.
Saat menjalankan perbuatan maksiat Tuhan dilupakan. Saat
beribadah ingat dengan Tuhan. Ini jelas kumat-kumatan
-- tidak konsisten.
“Inikan tidak berlaku pada Rasulullah, para nabi. Tapi
tetap saja disebut qolbu. Padahal
tidak mengalami bolak-balik (berubah),” jelas kyai muda ini.
Keyakinan ahli fiqih: manusia bisa beriman, jin bisa
iman.
“Sampai ada Surat Jin (di Al-Quran).”
Lantas setan bisa iman tidak?
“Tidak.”
Manusia dan jin sebagai nama identitas. Manusia bisa
iman. Jin bisa iman.
Tapi sebagai nama sifat. Disebut setan karena durhaka
kepada Allah. Manusia pun kalau durhaka kepada-Nya bisa disebut setan.
“Setiap orang baik, para nabi, tidak Aku ciptakan kecuali
mempunyai musuh -- bisa berupa setan manusia, bisa berupa setan jin.”
“Orang yang sering ngaji tapi menipu itu namanya setan.
Jual agomo, yo setan,” tandas Gus
Baha.
Salah satu hewan namanya anjing -- hewan tertentu yang
namanya anjing. Sehingga bisa saja kalau ada orang nakal, ada yang menyebut
(maaf) anjing.
“Itu yang namanya disiplin bahasa (lughot). Mau tidak mau yang namanya bahasa tidak bisa dihindari.”
“Sehingga pada waktu Abu Jahal masih hidup, kanjeng Nabi memanggilnya Firaun. Kalau
ada orang perusak, nabi dulu kalau marah menyebut Dajjal.”
Nama itu ada dua: nama yang jatidiri dan identitas. Lalu
ada nama yang diambil dari sifatnya.
“Lha ini yang riskan berubah-ubah.”
Jin dan setan itu habitat yang berbeda. Tapi kadang jin
oleh Allah disebut setan. Tapi bukan dengan makna identitas, tapi nama sifat --
yaitu makna unsur.
Jin itu sesuatu yang tidak kelihatan.
Orang gila disebut majnun
-- karena akalnya ketutupan. Bayi yang dalam kandungan dalam bahasa arabnya, janin --
karena tidak kelihatan.
“Materinya kan jim
nun, mudhoaf,”
Malam hari karena gelap disebut jin. Manusia dan jin
sebagai ismiyah (nama identitas).
Ada setan karena wasiat. Yaitu, “tukang” merusak dunia.
“Lha kamu itu bisa (jadi) masuk di situ. Karena merusak,
ya setan. Tidak shalat ya setan, pemabuk ya setan.”
Mereka Saling Melengkapi Menciptakan Kegaduhan Agama
“…dan tidak Aku jadikan nabi kecuali ada musuh dari setan
berwujud jin dan setan berwujud manusia. Yang mereka itu saling melengkapi,
saling mendukung dalam menciptakan kegaduhan agama.”
Yang membuat kegaduhan itu setan manusia. Sedangkan setan
jin tidak bisa -- bisanya hanya membisiki.
Setan jin tidak bisa berkata-kata (bersilat lidah). Kalau
setan manusia itu pandai bersilat lidah.
Diceritakan Gus Baha, suatu ketika Nabi Muhammad pernah
ditanya sama orang kafir yang cerdas.
Pertanyaannya.
“Kalau ada kambing mati, yang mematikan siapa?”
Jawab nabi dengan lugu.
“Allah.”
Balas orang kafir tadi.
“Agamamu aneh. Yang dibunuh Allah langsung, (jadi) haram.
Tapi kalau dibunuh lewat manusia, kok
jadi halal. Harusnya yang dibunuh langsung Allah itu orisinil, halal.”
Setan itu: mereka berlomba-lomba membolak-balikkan agama.
Sehingga membuat agama ini kacau. Kepintaran mereka bersilat lidah.
Misalnya kalau pemimpin sedang prihatin terhadap kondisi
bangsa.
Yang suka dengannya maka akan menyanjung: “Bagus sekali
ini presiden, prihatin terhadap kondisi bangsa.”
Kalau yang tidak suka: “Presiden kok prihatin terus.
Presiden tidak punya solusi. Itu bingung.”
Siapa yang benar diantara keduanya?
Contoh lagi.
Yang suka dengannya: “Presidennya tawaduk. Meski punya
otoritas penuh, tapi masih bermusyawarah.”
Yang tidak suka: “Dia yang digaji, dapat fasilitas. Kok
ajak musyarawah bersama-sama. Orang bingung ini.”
Gus Baha bertanya terhadap dua hal di atas -- antara yang
suka dan yang tidak suka.
“Bener ndi
(Benar mana)?” tanya Gus Baha.
Itulah repotnya pembicaraan bisa dibolak-balik.
“Maka sejarah murtad
terbesar itu masalah naskh-mansukh.”
Naskh-mansukh itu
ketetapan hukum yang direvisi oleh ketetapan hukum lain.
Karena pandai bersilat lidah, bahwa agama ini akan
dikalahkan mulut-mulut jelek yang memusnahkan atau mematikan cahaya agama ini.
Repotnya agama: orang yang khusyuk tidak mau berpikir.
Yang menyerang bisa bersilat lidah. Yang khusyuk tidak
bisa mikir, tidak mampu menjawab persoalan.
Lantas ulama memberikan definisi naskh-mansukh. Yaitu, habisnya masa ibadah.
Gambaranya begini.
Kalau kecil minum susu (ASI). Kalau besar minum kopi. Ini
naskh-mansukh atau memang sudah
waktunya tidak minum susu?
“Sudah waktunya tidak minum susu,” jawabnya.
Begitu juga gambarannya.
Dulu saat nabi masih di Makkah, lemah sekali perang.
Sehingga diharamkan perang. Kemudian ketika di Madinah diperbolehkan perang.
Ini karena sudah waktunya diperbolehkan.
Definisi ini penting untuk diketahui.
Yahudi beranggapan naskh-mansukh.
Dijelaskan, Nabi punya hukum, setelah dipikir-pikir ternyata salah lantas
diubah. Doktrin ini yang ditanamkan ke sahabat awam. Sehingga banyak yang
murtad.
“Makanya, salah definisi, salah berbicara itu bahaya.
Karena bisa dibolak-balikkan.”
Jika satu ayat, ketentuannya diganti ayat lain. Ini jadi
ajang orang-orang kafir mengkritik Nabi Muhammad.
Nabi dianggap membuat ketetapan hukum. Terus menyesal. Terus
dievaluasi. Kemudian diubah lagi.
“Nah ini yang menjadikan murtad.”
Jangan sampai salah definisi, kalau salah definisi nanti
repot.
“Kita harus terlatih menganalisa naskh-mansukh sebelum orang lain membolak-balikkan kata-kata.” (titahkita.com)
Tinggalkan Pesan di Kolom Komentar
SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
Tinggalkan Pesan di Kolom Komentar
SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
“Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." HR. Muslim no. 1893
0 Response to "Membedah Setan Jin dan Setan Manusia"
Post a Comment