Tiga Peningkatan di Bulan Syawal, Simak Penjelasan UAS - TitahKita.com -->

Tiga Peningkatan di Bulan Syawal, Simak Penjelasan UAS

Ustadz Abdul Somad
Tiga Peningkatan di Bulan Syawal, Simak Penjelasan UAS
---
SYAWAL memiliki arti meningkat. Bulan Syawal artinya bulan peningkatan.

Jadi kalau menurun amalnya, itu bukanlah Syawal.

“Kalau laki-laki Syawaludin, kalau perempuan Syawaliyah. Naik, peningkatan ke atas,” kata Ustadz Abdul Somad.

Apa yang meningkat di bulan Syawal? Dijelaskan Ustadz yang ceramahnya tenar di dunia maya itu ada tiga.

“Pertama meningkat ilmu, karena ada pengajian, pengajian, pengajian,” tandasnya seraya mengulang kata pengajian hingga tiga kali.

Di era pandemi corona ini, pengajian bisa dilangsungkan secara virtual atau online.

Yang kedua meningkat amal. Seperti melangsungkan shalat witir, iktikaf, zikir, doa, baca Al-Quran dan ibadah-ibadah lainnya.

Yang ketiga meningkat iman.

“Kalau tiga ini meningkat. Best (baik),” tandas UAS -- panggilan bekennya.

BACA JUGA: New Normal, Jaga Ketahanan Tubuh dengan Wedang Herbal ini

“Tapi kalau yang meningkat itu kolestrol, diabetes moletus, gula darah, berat badan, kita perlulah merenung sejenak.”

“Bagi bapak-ibu yang meningkat (kolestrol dll) apakah itu dosa? Tidak,” tegasnya dalam sebuah video di Youtube.

“Yang penting sehat, mau gemuk, mau kurus, mau tinggi, mau pendek, mau ganteng, mau buruk, semua akan menjadi santapan cacing tanah. Tak ada yang bebas daripada itu.”

Maka terlalu mementingkan kuku yang cantik, kulit yang mulus itu penting, bersih juga penting. Tapi yang paling dipentingkan yang dibawa mati nanti apa?

“Sampai habis-habisan ke pasangan. Apa nanti kalau mati, bini kita ikut? Memangnya kalau mati laki kita ikut? Sampai tak sempat tarawih mengurus laki-laki, sampai tak sempat tahajud (gara-gara) mengurus anak. Mana ada orang mati bawa anak? Tak ada,” bebernya.


Mana yang Dulu, Mengganti Puasa "Bolong" atau Puasa Syawal?


Dan tentunya, kini masih di bulan Syawal. Tak ada salahnya jika melangsungkan puasa Syawal selama enam hari.

Meski sifatnya sunnah tapi penting dijalankan. 

Mengacu pada hadits shahih riwayat Imam Muslim: 

“Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun.”   

Bila puasa Ramadhan lalu ada yang “bolong”, apakah mengqadha (mengganti) dulu lalu ditambah puasa Syawal enam hari?

Kalau pun diganti dulu, misalnya tujuh hari, setelah itu ditambah enam hari, maka berat dalam menjalankannya? Bila ditotal menjadi 13 hari.

“Siapa yang tak sanggup, saya yakin 13 (hari) tak sanggup.”

“Siapa yang mengqadha puasa enam hari di bulan Syawal, otomatis dapat puasa sunah di bulan Syawal,” jelas UAS.

Ditandaskan, bahwa puasa Syawal bisa dimulai sejak tanggal 2 sampai 30. Dilaksanakan di awal boleh, di tengah boleh, di akhir boleh.

“Berturut-turut boleh, pisah-pisah boleh.” 

Ditandaskan UAS, puasa Ramadhan tidak berat. Tapi puasa Syawal berat. 

“Kita puasa, orang tak puasa.”

Godaan sangat luar biasa, maka puasa ini sangat baik.

“Apa intinya, menjaga kontinuitas, berlangsungnya amal. Hikmah dibalik itu semua, badan tak terkejut.”


Perbedaan Mazhab yang Menukik


Ada perbedaan pendapat apakah mengqadha puasa Ramadhan lalu baru puasa Syawal atau mengqadha puasa Ramadhan sekaligus mendapat pahala puasa Syawal?

Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Ahmad Sarwat sebagaimana dilansir dari rebuplika.co.id mengatakan, sebagian ulama ada yang berpendapat boleh puasa sunnah Syawal meski masih memiliki utang puasa Ramadhan, dan sebagian lain berpendapat tidak boleh puasa Syawal lebih dahulu jika memiliki qadha puasa Ramadhan.

Dalam penjelasan di laman Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Sarwat mengatakan, ada tiga pendapat berbeda dari para ulama tentang hukum puasa sunnah Syawal dan puasa qadha Ramadhan. 

Pendapat pertama ialah boleh tanpa karahah. Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah.

Mazhab tersebut mengatakan, dibolehkan bagi orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan untuk mengerjakan puasa sunnah, termasuk puasa enam hari di bulan Syawal. 

Pendapat ini merujuk pada kewajiban puasa qadha bersifat tarakhi, yakni boleh ditunda atau diakhirkan hingga menjelang masuknya bulan Ramadhan tahun berikutnya.

Dengan demikian, dibolehkan untuk mengerjakan puasa sunnah Syawal dan tidak harus dibayarkan dahulu utang puasa Ramadhannya. 

Dari pendapat ini, sifat dari kebolehannya mutlak tanpa karahah, yaitu tanpa ada hal kurang disukai.

Selanjutnya, terdapat pendapat mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah. Dijelaskan, tidak mengapa seseorang mendahulukan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal dan menunda qadha puasa Ramadhan yang hukumnya wajib. 

Akan tetapi, hal itu dalam pandangan mereka diiringi dengan karahah atau kurang disukai (kurang afdhal).

Dengan demikian, pendapat ini menekankan untuk membayarkan hutang puasa lebih dulu yang sifatnya wajib. Kendati begitu, pendangan para ulama mazhab ini tidak melarang jika seseorang ingin mendahulukan puasa sunnah dan menunda puasa wajib.

Sementara itu, pendapat dari mazhab Al-Hanabilah justru mengharamkan puasa sunnah sebelum membayar kewajiban qadha puasa. 

Pendapat tersebut merujuk pada hadits Nabi Muhammad SAW: 

"Siapa yang berpuasa sunnah padahal dia memiliki hutang qadha puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, maka puasa sunnahnya itu tidak sah sampai dia bayarkan dulu puasa qadhanya." (HR Ahmad).

Namun demikian, Ustadz Sarwat menjelaskan, sebagian ulama meragukan kekuatan hadits tersebut. Pasalnya, hadits itu dianggap memiliki idhthirab atau kegoncangan.

Ia mengatakan, ketika para mufti di Arab Saudi berfatwa tentang haramnya puasa enam hari bulan Syawal bagi mereka yang belum membayar hutang puasa Ramadhan, maka pendapat mereka itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang mazhab Al-Hanabilah yang banyak dianut masyarakat Arab Saudi. 

Pendapat mazhab ini menilai, bahwa orang yang berhutang puasa bararti belum selesai dari puasa Ramadhan. 

Sehingga, harus menyelesaikan dahulu qadha puasa Ramadhan dan baru boleh mengerjakan puasa sunnah enam hari bulan Syawal.

Akan tetapi, dari semua pendapat tersebut, Ustadz Sarwat mengatakan, pendapat manapun hukumnya boleh saja. 

Menurutnya, tidak ada keharusan untuk bersikap merasa paling benar, sebab hukumnya sendiri memiliki beberapa pendapat yang berbeda.

Sementara itu Agus Arifin dalam buku berjudul "Step By Step Fiqih Puasa Edisi Revisi" menyebutkan hal sama terkait perbedaan pendapat soal mana yang harus didahulukan antara puasa sunnah enam hari bulan Syawal dan membayar qadha.

Pendapat yang tidak boleh mendahulukan puasa Syawal sebelum puasa qadha didasarkan karena hal itu sama dengan mendahulukan yang sunnah daripada yang wajib. 

Dikatakan, mengqadha puasa berkaitan dengan kewajiban (dzimmah) dan seseorang tidak mengetahui apakah ia masih lama hidup atau akan mati. 

Pendapat ini diperkuat dengan perkataan Sa'id bin Al Musayyib mengenai puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah.

"Tidaklah layak melakukannya (puasa sunnah) sampai mendahulukan mengqadha puasa Ramadhan." (HR Bukhari).

Selanjutnya, mazhab Hanafi mengatakan, puasa qadha Ramadhan adalah ibadah fardu ghairu mu'ayyan (tidak ditentukan) dan boleh ditunaikan pada rentang waktu hingga datangnya Ramadhan tahun berikutnya. 

Dengan demikian, dibolehkan mengerjakan puasa Syawal enam hari sebelum membayar qadha puasa Ramadhan karena puasa Syawal adalah puasa sunnah yang sudah ditentukan waktunya (mua'ayyanah). (titahkita.com)

SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
“Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." HR. Muslim no. 1893

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tiga Peningkatan di Bulan Syawal, Simak Penjelasan UAS"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel