“Setan Corona”, Kita Sama Sekali Belum Mensarjanainya
Cak Nun |
“Setan Corona”, Kita Sama Sekali Belum Mensarjanainya
---
AKTIFITAS
massa di tengah pandemi corona atau covid-19 ini tidak diperkenankan. Termasuk
kegiatan Jamaah Maiyah.
Sudah
kesekian kalinya Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib membahas tentang corona.
Pembahasannya tidak hanya satu dua. Lebih dari itu.
Terbaru,
di laman caknun.com, dai yang juga budayawan kondang itu menulis di rubrik
khasanah.
Judul yang diangkat “Setan Corona, Bencana, Peluang, dan Kebangkitan Baldah Maiyah”. Terpublis 14 Mei 2020. Berikut tulisan lengkapnya:
Judul yang diangkat “Setan Corona, Bencana, Peluang, dan Kebangkitan Baldah Maiyah”. Terpublis 14 Mei 2020. Berikut tulisan lengkapnya:
Data
Kalau
sore-sore Pemerintah Indonesia mengumumkan jumlah penduduk Negeri ini yang
terpapar Covid-19 (misalnya sekarang 15.438), itu tidak berarti jumlah
saudara-saudara kita yang terjangkit Corona.
Itu
adalah jumlah yang sejauh ini diketahui oleh Pemerintah, tidak berarti jumlah
yang sebenarnya. Sebab kalau punya 10 saudara, kita periksa berapa yang sakit,
semua 10 orang itu harus diperiksa. Sedangkan pemeriksaan yang dilakukan atas
penduduk NKRI, belum ada 1%.
Berarti
sebegitulah kadar kerja Penanggung jawab NKRI ini dalam hal Corona. Hidup ini
kasunyatan atau kenyataan. Kenyataan itu nyata. Nyata itu secara teknis disebut
data.
Dan
soal data ini luar biasa Negara kita semua tidak siap. Di luar itu ada
multidimensi fakta yang menjadi latar belakang, menyertainya, dan menjadi
akibatnya. Kita belum berpikir dan melakukan analisis komprehensif sebagaimana
yang seharusnya.
Ini
Setan Covid sudah memvirusi semua sel kehidupan. 267 juta orang tidak bisa
mencari nafkah keluar rumah, anak-anak tidak bisa sekolah, tidak bisa beribadah
bersama, tidak bisa melakukan apapun yang dulu merupakan zona nyaman kehidupan.
Mensarjanai Corona
Pemerintah
dan kita semua bahkan baru sedang bersekolah dasar mata pelajaran Corona. Kita
sama sekali belum mensarjanai Covid-19. Apalagi dia pendekar mabuk, bisa
berubah-ubah jurus, bermutasi tak habis-habisnya.
Yang
memimpin bangsa Indonesia tidak pernah belajar tentang kekuatan dan kelemahan
alamiah, kekuatan dan kelemahan budaya, kekuatan dan kelemahan jenis manusia
bangsa Indonesia.
Maka
setiap langkahnya mencerminkan bahwa mereka tidak mengerti dan memang tidak
punya kesadaran untuk mempelajari watak bangsanya.
Dipikirnya masalah Corona adalah terbatas pada urusan sakit dan kesehatan.
Ketika
kemudian multiefek Corona sampai ke proses kehancuran ekonomi, budaya dan
politik -- tidak ada sedikit pun siap mengantisipasinya sebagai sebuah problem
keseluruhan.
Kalau
oleh serbuan Setan Corona Pemerintah tidak patah kursinya, berarti bangsa
Indonesia adalah kumpulan manusia paling “nyegara” hatinya, jembar dadanya,
santun, pandai mengalah, dan penuh kemurahan hati.
Solusi Pancasila Terhadap Corona
Tanyakan
kepada Presiden dan semua ahli: apa jawaban Pancasila terhadap Corona? Kalau
tidak bisa menjawab pertanyaan besar dan global misalnya “bagaimana antisipasi
dan kebijaksanaan Pancasila melayani kapitalisme global?” -- sekarang
pertanyaannya cukup menyangkut hal yang sangat kecil, mikro dan tidak kasat
mata, yaitu Corona.
Kalau
tidak juga bisa menjawab hal setan siluman Corona, kenapa kalian dulu
mencalonkan diri untuk mengurusi Indonesia?
Perhatikan
kira-kira bagaimana jawaban mereka? Bagaimana mereka menemukan hubungan antara
sila-sila Pancasila dengan masa depan bangsa berdasarkan Corona?
Bermurah
hatilah mempermudah jawabannya, dengan pertanyaan lebih lanjut tentang apa
hubungan antara dampak Corona dengan “gotong royong”?
Kenapa
tidak pernah ada pemerintahan yang mencoba menerjemahkan gotong royong menjadi
sistem politik, mekanisme sosial budaya, dan perekonomian bangsa?
Apalagi
Pemerintahan sekarang ini, yang konsentrasi utamanya adalah pencitraan sehingga
sangat sibuk membikin topeng-topeng mengkamuflase wajah aslinya.
Mengindonesia Sendiri Saja
Maka
Jamaah Maiyah dengan semua simpul-simpulnya bersegera meneguhkan diri untuk
meng-Indonesia sendiri saja. Sejak awal ber-Maiyah kan memang mandiri hampir
dalam segala hal.
Tidak
bergantung pada funding dari manapun kecuali dari mereka sendiri.
Kalau mau berkeluarga dan makan minum ya tidak tergantung siapa-siapa di luar
Allah dan Kanjeng Nabi.
Kalau
mau beribadah ya tidak tergantung madzhab, atau NU dan Muhammadiyah. Kalau mau
berpikir dan berjihad tidak tergantung Pesantren, Universitas dan Sekolah.
Kalau
mau bernegara ya tidak tergantung undang-undang Negara dan kebijakan
Pemerintah. Kalau mau menjaga kesehatan dan kesejahteraan jiwa raga tidak
tergantung langkah-langkah penguasa.
Baldah Maiyah
Sekarang
di zaman Corona bikin sendiri Baldah Maiyah. Baldah itu kluster. Di Al-Quran
ada Bilad, ada Balad, ada Buldan, dan ada Baldah.
Rasanya
Baldah lebih lembut makna dan wilayahnya. Ia bisa Negara atau Kerajaan atau
satuan komunitas manusia. Yang utama bukan bentuk padatnya, melainkan mekanisme
kebersamaan atau Maiyahan di antara semua manusia yang berhimpun.
Bahkan
tidak penting batasan teritorialnya. Ia semacam komprehensi dari semangat hidup
yang sama di antara Manusia- manusia di Baldahnya.
Jamaah
Maiyah belajar ke Mas Rudd Blora, ke Cirebon, Banyumas atau Sidoarjo. Serap
dari Sabrang Perdana Menteri Maiyah tentang data sebab dan akibat Corona sampai
semua area tematiknya, sehingga mengerti dengan runut dan detail “faltandhur ma
qaddamat lighad”.
Utamanya
lagi belajar kepada Mbah-mbah, nenek moyang. Belajar soal gentong air di depan
rumah, soal ngapurancang tanpa bersentuhan kulit kepada orangtua, belajar bab
Lumbung dan semuanya. Baldah Maiyah bisa mencapai “baldah thayyibah wa Rabbun
Ghofur” tidak harus dengan kapitalisme global, Mal, industri, produksi massal.
Standar Hidup
Sekarang
Corona adalah utusan Tuhan yang bertugas memaksa manusia untuk merumuskan dan
memperharui standar kehidupan mereka. Semua kesulitan yang kita alami selama
dua bulan terakhir inilah standar hidup kita.
Ya
begini ini hidup. Bahkan mungkin perlu dipersiapkan standar yang lebih rendah
lagi, ketika nanti Corona mengakibatkan berbagai macam kehancuran, kemacetan,
kebuntuan, dan kehinapapaan pangan, budaya pergaulan, pendidikan dan
bidang-bidang lain yang dulu kita nikmati dengan kurang bersyukur.
Qum Wa Tsiyabaka Fathahhir
Kemarin
Corona adalah bencana. Sekarang Corona adalah peluang. Besok pagi Corona adalah
kritik keras agar manusia merancang kebangkitan.
“Ya
ayyuhal muddatstir. Wahai orang yang berselimut karena takut Corona. Berdiri
bangkitlah. Sebarkan peringatan. Pakaian (politik, budaya)mu bersihkanlah.
Dosa-dosa tinggalkanlah. Berhentilah mindset laba laba laba laba labaaaa
melulu. Bergotong royonglah. Ya ayyuhal Muzzammil. Bangunlah tengah malam.
Bersujudlah. Baca Al-Qur`an pelan-pelan. Sesungguhnya Aku aku akan menurunkan
perkataan yang berat (Corona)”.
Tahap
pertama, Jamaah Maiyah mengkonsep atau menganggap bahwa setiap Jamaah Maiyah,
seluruh bangsa Indonesia dan masyarakat dunia semua sudah terpapar Covid-19.
Tidak
seorang pun yang tidak terjangkit Corona. Itu menjadi landasan kesadaran untuk
kegiatan sehari-hari: keluar rumah atau tidak, pakai masker atau tidak, jaga
jarak atau tidak, perlu minta tolong kepada Allah atau tidak, dan semua
kemungkinan lainnya.
Tahap
kedua kebangkitanmu adalah memastikan Baldah Maiyah, sistem gotong royong di
antara sesama Jamaah, atau Jamaah membaldahkan desa atau kampungnya. Apa yang
Jamaah Maiyah pikirkan, sikapi dan lakukan selama Corona, pada saatnya akan
menunjukkan perbedaan mencolok antara Jamaah Baldah Maiyah dengan umumnya
bangsa Indonesia.
Adrenalin Jihad
Tahap
berikutnya ijtihad Jamaah Maiyah lewat daring, zooming, youtubing atau
jalan online apapun mengkonsentrasikan musyawarahnya ke tema peluang
dan kebangkitan. Keterasingan Maiyah di tengah Indonesia dan Dunia adalah
potensi di mata pandang Allah Swt dan diri mereka sendiri.
“Dan Kami hendak memberi
karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan
mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi” (Al-Qasas:
5).
Maiyah
tertindas di muka bumi. Maiyah tidak dianggap potensi apapun oleh Indonesia.
Maiyah bukan partisipator nilai masa kini apalagi masa depan oleh Media Massa.
Maiyah itu ‘istudl’ifu fil ardl. Teralienasi. Terasing. Jamaah Maiyah adalah
penempuh Jalan Sunyi.
Semua
Jamaah Maiyah sedang berjihad, dan salah satu yang wajib dilakukan dalam proses
jihad itu adalah berijtihad.
Saya
minta tolong Progress, Sabrang, Gandhie untuk merampakkan adrenalin ijtihad
itu. Saya mohon kepada Cak Fuad, Syeikh Kamba, dan Kiai Tohar untuk memandu
dan ngawat-awati mereka.
Jamaah
Maiyah yang memproses kualitas dirinya untuk kompatibel terhadap janji Allah “hendak
menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi”.
Allah Swt sendiri yang berjanji. Bukan Kanjeng Nabi. Apalagi saya. ***
Tulisan disadur dari klik sini
(titahkita.com)
SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
“Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." HR. Muslim no. 1893
0 Response to "“Setan Corona”, Kita Sama Sekali Belum Mensarjanainya"
Post a Comment