Aa Gym: 5 Cara Latihan Agar Bisa Ikhlas (3)
Nov 29, 2019
Edit
---
DI atas podium. Terbuat dari kayu. Warna coklat. Aa
kembali melanjutkan ceramahnya.
Air mineral dalam gelas, di depan Aa, juga belum
diminum. Barang kali belum haus.
Kyai kondang dengan lagu yang sempat hits di tahun
2000 – an dengan judul “Jagalah Hati” itu melanjutkan penjelasan.
Point ketiga.
Point ketiga.
“Jangan ingin dipuji.”
Pujian dari orang kadang membuat melayang, merasa
bangga. Kalau ada orang yang memuji ucapkan alhamdullilah.
Sebaliknya cacian, kadang membuat orang menjadi
rendah, menjadi hina. Dihina pun tetap berucap alhamdullilah.
Prinsipanya -- jangan ingin dipuji. Jangan takut dicaci.
Orang yang ikhlas, kalau dicaci maupun dipuji tidak
akan berpengaruh terhadap dirinya. Baik dipuji maupun dicaci sama saja.
“Tidak ada efek apa-apa secara fisik maupun
psikologi kita. Kecuali (kalau) tidak ikhlas,” tandasnya.
Aa mencoba memancing suara jamaah. Terutama bagi
jamaah yang baru.
“Buk…buk,” panggil Aa.
Ibu-ibu atau bapak-bapak yang sudah lama ikut
mengaji diminta untuk diam. Biar yang baru yang menjawab.
Dilontarkan: kalau ibu memasak untuk suami dari pagi hari.
Lalu menu masakan ditata di atas meja dengan baik, rapi. Dan...ketika meminta suami
untuk sarapan, suami pergi saja, berangkat kerja, inginya sarapan di kantor.
“Apa yang ibu dirasakan?” tanya Aa ke jamaah perempuan.
“Perasaan ibu, bahagia, sedih atau gembira.”
“Kecewa,” jawab jamaah serentak diiringi tawa.
“Nah sebanding dengan rasa keikhlasannya,” lanjut
Aa.
Meski begitu, kalau niatnya benar, istri tetap
dapat pahala. Niat awal masak untuk suami, menata hidangan juga dapat pahala.
Nikmati saja. Hidangan itu bisa disantap sendiri.
“Selamat menderita bagi orang yang sibuk dengan
penilaian makhluk.”
Dicontohkan Aa:
Diambilkan dari kisah anak, bapak, dan keledai.
Saat di jalanan, anak yang naik keledai, bapaknya yang
menuntun. Mereka berpapasan dengan orang, lalu berkomentar. “Anak tak tahu tata kerama.
Bapaknya disuruh jalan. Mestinya yang naik bapaknya. Bukan anak.”
Ketika merubah posisi, berbalik anak yang
menuntun keledai. Di jalan dikomentari orang lagi. “Dasar bapak tak belas
kasihan pada anak. Mestinya bapak yang menuntun keledai.”
Tahap ketiga, bapak dan anak menaiki keledai.
Dikomentari lagi di jalan. "Dasar bapak anak tak punya
peri-kekeledai-an."
Aa memberikan penjelasan.
Aa memberikan penjelasan.
“Kalau sibuk dengan penilaian mahkluk. Siaplah
sengsara. Karena tiap manusia punya sudut pandang yang berbeda,” jelas Aa, atas
sikap bapak dan anak dengan keledai itu.
“Kalau ingin bahagia, cukuplah Allah yang menjadi
saksi.”
Aa melanjutkan ke hal lain lagi dengan contoh
ringan.
“Buk jangan bangga disebut awet muda.”
“Ngak mungkin,” jamaah ketawa.
“Mana ada orang awet.”
Kalau ada yang bicara: “Eh ibuk, makin lama makim
muda. Mustahil.”
Jamaah pun menerima penjelasan tersebut. --Bersambung--.(titahkita.com)