Aa Gym: 5 Cara Latihan Agar Bisa Ikhlas (3) - TitahKita.com -->

Aa Gym: 5 Cara Latihan Agar Bisa Ikhlas (3)


Aa Gym
Aa Gym: 5 Cara Latihan Agar Bisa Ikhlas (3)
---
DI atas podium. Terbuat dari kayu. Warna coklat. Aa kembali melanjutkan ceramahnya.

Air mineral dalam gelas, di depan Aa, juga belum diminum. Barang kali belum haus.

Kyai kondang dengan lagu yang sempat hits di tahun 2000 – an dengan judul  “Jagalah Hati” itu melanjutkan penjelasan. 

Point ketiga.

“Jangan ingin dipuji.”

Pujian dari orang kadang membuat melayang, merasa bangga. Kalau ada orang yang memuji ucapkan alhamdullilah.

Sebaliknya cacian, kadang membuat orang menjadi rendah, menjadi hina. Dihina pun tetap berucap alhamdullilah.

Prinsipanya -- jangan ingin dipuji. Jangan takut dicaci.

Orang yang ikhlas, kalau dicaci maupun dipuji tidak akan berpengaruh terhadap dirinya. Baik dipuji maupun dicaci sama saja.

“Tidak ada efek apa-apa secara fisik maupun psikologi kita. Kecuali (kalau) tidak ikhlas,” tandasnya.

Aa mencoba memancing suara jamaah. Terutama bagi jamaah yang baru.

“Buk…buk,” panggil Aa.

Ibu-ibu atau bapak-bapak yang sudah lama ikut mengaji diminta untuk diam. Biar yang baru yang menjawab.

Dilontarkan: kalau ibu memasak untuk suami dari pagi hari. Lalu menu masakan ditata di atas meja dengan baik, rapi. Dan...ketika meminta suami untuk sarapan, suami pergi saja, berangkat kerja, inginya sarapan di kantor.

“Apa yang ibu dirasakan?” tanya Aa ke jamaah perempuan.

“Perasaan ibu, bahagia, sedih atau gembira.”

“Kecewa,” jawab jamaah serentak diiringi tawa.

“Nah sebanding dengan rasa keikhlasannya,” lanjut Aa.

Meski begitu, kalau niatnya benar, istri tetap dapat pahala. Niat awal masak untuk suami, menata hidangan juga dapat pahala.

Nikmati saja. Hidangan itu bisa disantap sendiri.

“Selamat menderita bagi orang yang sibuk dengan penilaian makhluk.”

Dicontohkan Aa:

Diambilkan dari kisah anak, bapak, dan keledai.

Saat di jalanan, anak yang naik keledai, bapaknya yang menuntun. Mereka berpapasan dengan orang, lalu berkomentar. “Anak tak tahu tata kerama. Bapaknya disuruh jalan. Mestinya yang naik bapaknya. Bukan anak.”

Ketika merubah posisi, berbalik anak yang menuntun keledai. Di jalan dikomentari orang lagi. “Dasar bapak tak belas kasihan pada anak. Mestinya bapak yang menuntun keledai.”

Tahap ketiga, bapak dan anak menaiki keledai. Dikomentari lagi di jalan. "Dasar bapak anak tak punya peri-kekeledai-an."

Aa memberikan penjelasan.

“Kalau sibuk dengan penilaian mahkluk. Siaplah sengsara. Karena tiap manusia punya sudut pandang yang berbeda,” jelas Aa, atas sikap bapak dan anak dengan keledai itu.

“Kalau ingin bahagia, cukuplah Allah yang menjadi saksi.”

Aa melanjutkan ke hal lain lagi dengan contoh ringan.

“Buk jangan bangga disebut awet muda.” 

“Ngak mungkin,” jamaah ketawa.

“Mana ada orang awet.”

Kalau ada yang bicara: “Eh ibuk, makin lama makim muda. Mustahil.”

Jamaah pun menerima penjelasan tersebut. --Bersambung--.(titahkita.com)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel