Cak Nun: Verifikasi Rasa, Jangan “Ngendas-ngendasi” Tuhan
Cak Nun |
---
UNDANG-undang dasarnya, manusia itu tidak berdaya. Bahkan
semua. Termasuk nabi. Termasuk malaikat. Pun jin. Pun iblis tidak berdaya.
Kalimat di atas menjadi penjelasan Cak Nun atau Emha
Ainun Nadjib.
Rentetan kalimatnya berlanjut.
Sementara manusia tiap hari menghadapi tantangan,
problem, ancaman segala macam. Yang makin lama makin tidak mampu diantisipasi.
“Karena kita tetap tidak berdaya, meskipun kita bisa
mencari ilmu. Tapi, tetap posisi kita dalam undang-undang kehidupan adalah
tidak berdaya,” tandasnya.
Dengan hal itu, maka terus kita “ndangak” atau menengadah: melihat-lihat ke atas; menghadapkan muka ke atas; mengangkat kepala.
Disebutkan Cak Nun, di atas kita ada tiga lapisan langit.
“Jadi kita menengadah karena kita berharap. Jangan terpapar covid. Mudah-mudahan tetap bisa menghidupi anak-istri saya. Mudah-mudahan kehidupan saya tetap bisa sakinah dalam keluarga saya. Ya tidak sampai-sampai makmur amat. Setidaknya, tidak kekurangan makan gitu,” sambungnya.
Dijelaskan, ketika menengadah ada tiga lapisan. Pertama,
yang kita langsung bisa mengharapkan atau berdoa.
Berdoa atau berharap, posisinya berada pada ketiadaan
menuju keadaan. Pada posisi tidak ada menjadi ada. Yang belum tercapai meminta
memohon untuk tercapaikan
“Ini adalah perubahan keadaan yang kita harapkan. Maka
kita berdoa,” singkatnya dengan penjelasan yang gamblang.
Di atasnya harapannya, lanjut Cak Nun, ada lapis langit. Namanya keyakinan. Tetapi untuk tercapai. Untuk ada dari tidak ada. Untuk selamat dari tidak selamat itu letaknya tidak diyakinan.
Letaknya di atasnya
lagi. Di lapisan langit yang ketiga. Yaitu, pepesten
(bahasa Jawa); ketentuan Tuhan. Kepastian, keniscayaan dari kuasa Allah dan daya Allah.
“Jadi puncak doa kita itu kan hanya keyakinan,” tandas
Cak Nun dalam channel Youtube CakNun.com.
Tetapi keyakinan itu akan terjadi apa tidak? Letaknya ada
di wilayahnya Allah. Manusia hanya bisa sampai ke langit keyakinan.
Ditegaskan Cak Nun, dalam berdoa, mengharapkan sesuatu
dengan keyakinan: bahwa Allah merahmati kita, bahwa Allah Maha Sayang, Maha Pengasih,
Maha Pengampun.
“Sehingga ada kans untuk kita mencapai sesuatu
yang kita harapkan. Jadi nanti posisinya kita sampai ke langit keyakinan. Terus
Allah turun dengan pepesten-nya. Di situ nanti ada birokrasi. Ada
verifikasi dari Allah sendiri, yang kita ndak
tahu."
“Kebanyakan kita itu, teman-teman sekalian, kita itu kadang-kadang terpeleset. Saking yakinnya terus kita memastikan. Sebenarnya itu belum kepastian. Misalnya lho saya shalawatan kok. Saya dzikir kok. Saya shalat rajin kok, saya pasti dilindungi Tuhan ya.”
“Nah sekarang coba dirasakan di dalam roso (rasa) atau perasaan terdalammu. Yang kamu omongkan itu tadi keyakinan atau kepastian?”
Ditegaskan Cak Nun, kalau kepastian itu milik Allah. Bukan milik kita. Kalau milik kita itu keyakinan. Dan itu jaraknya memang sangat tipis.
“Jadi ketika seseorang ngomong. O nggak apa-apa covid, saya shalawatan. Saya punya hak prerogatif dari Allah, karena saya shalawatan ke Rasulullah. Kalau dekat sama Rasulullah kan diselamatkan oleh Allah. Itu harapan namanya. Dan yang kita yakini itu, tapi itu bukan pepesten, bukan kepastian.”
“Nah seringkali kita itu. Di dalam diri kita kebablasan untuk menyangka bahwa keyakinan kita itu sama dengan kepastian dari Allah,” jelas suami dari Novia Kolopaking ini.
Cak Nun mengajak, agar jangan sampai merasakan, memikirkan untuk mengatakan sesuatu yang kita kepleset atau kebablasan.
“O ndak papa sama covid. Masak saya kalah sama covid. Sampai ada Habib mengatakan mosok Izroil kalah sama virus. Jadi itu menurut saya, kebablasan dari keyakinan menjadi kepastian.”
“Kalau Allah berhak ngomong seperti itu. Dan, memang pada posisi-Nya. Mudah-mudahan Allah turun untuk menggabungkan, menjodohkan, antara yakin kita dengan kabul atau kebersihan Allah.”
Tapi, lanjut Cak Nun, yang menentukan terkabul bukan kita. Kita hanya bisa memohon dan meyakini. Kita tidak bisa memastikan.
“Jadi tolong kita semua selalu memverifikasi roso (rasa) dan batin kita. Supaya kita tidak kebablasan atau keteladuk atau terpeleset untuk memperlakukan keyakinan itu.”
Dijelaskan, keyakinan bukan puncak harapan sebagai
kepastian. Kepastian itu langitnya di atas. Malaikat Jibril tidak bisa sampai
ke Sidradul Muntaha. Rasullulah bisa sampai ke sana. Itu bukan karena Rasullulah
hebat.
Itu karena Allah memperkenankan Rasullullah sampai ke lapisan garis pamungkas atau Sidratul Muntaha itu. Sementara Jibril tidak boleh naik sampai ke sana.
“Itu bukan soal dayanya Muhammad dan Jibril. Itu izin Allah, kehendak Allah, perintah Allah, semau-maunya Allah. Jadi kita jangan ngendas-ndasi Allah. Jangan mengklaim seolah-olah kita ini, bisa memastikan sesuatu.”
“Jadi kita pada posisi mengharapkan. Paling puncak itu menyakini. Tapi, jangan sampai memastikan,” tutup Cak Nun. (titahkita.com)
Tinggalkan Pesan di Kolom Komentar
SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
0 Response to "Cak Nun: Verifikasi Rasa, Jangan “Ngendas-ngendasi” Tuhan"
Post a Comment