Gus Mus Bahas Subtansi Shalat, Cerita Orde Lama dan Orde Baru - TitahKita.com -->

Gus Mus Bahas Subtansi Shalat, Cerita Orde Lama dan Orde Baru

Gus Mus
Gus Mus Bahas Subtansi Shalat, Cerita Orde Lama dan Orde Baru
---
DI atas panggung sambil duduk di kursi empuk.

Spontanitas Kyai Haji Ahmad Mustofa Bisri bertanya kepada salah satu santriwati. Yang baru saja menjalani wisuda. 

Kesempatan ini beliau membahas tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad dalam rangkaian acara khataman.

“Menurutmu shalat iku opo (menurut kamu shalat itu apa)?” tanya pria yang akrab disapa Gus Mus ini dengan menyodorkan mic berkabel panjang.


Santriwati yang mengenakan pakaian putih dengan dihiasai sedikit warna pink itu cukup malu dalam menjawab. Antara mau dan tidak mau.

“Doa,” katanya singkat dengan suara lirih sambil menundukkan wajah.

Gus Mus membenarkan. Tanpa ada sedikit koreksi. Kyai asal Rembang, Jawa Tengah ini menjelaskan, shalat memiliki arti doa jika ditinjau dari segi bahasa atau lughatan.

“Dulu Mohammad Ali setiap mau tinju disebutkan mau shalat dulu. Wong (orang) Indonesia gak paham shalat lughatan,” ceritanya di hadapan pengasuh pondok, tamu undangan hingga wali santri.

Dengan penjelasan itu dipersepsikan, bahwa sebelum “bertarung” Mohammad Ali menjalankan ibadah shalat terlebih dahulu. Lengkap dengan gerakan-gerakan. Mulai takbiratul ihram hingga salam.

Padahal maksud di atas, petinju kelas kakap dunia itu berdoa seperti biasa sebelum bertanding.

Ha piye shalat ning ring kono (lha bagaimana menjalankan shalat di atas ring tinju),” tanyanya.

Padahal mik ngene to (padahal cuma begini to, berdoa),” terang Gus Mus sambil mengisyarakkan berdoa dengan mengangkat kedua tangan.

Gus Mus membenarkan apa yang dijawab oleh santriwati itu.

Wisuda tersebut merupakan wisuda bagi santriwan-santriwati Ponpes Madrasatul Qur'anil Aziziyyah, Bringin, Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah, waktu itu.

Bener (benar) itu makna lughatan,” ujarnya dalam ceramah yang diunggah dalam Youtube, Channel MQA Channel”.

Gus mus memberi penjelasan lain.

“Ada orang memandang, shalat itu hanya sebagai kewajiban. Ono sing muni rukun Islam (ada yang bilang sebagai rukun Islam).”

“Kalau hanya sebagai kewajiban, sebagai rukun, mengapa kok sampai Kanjeng Rasul SAW harus menerima sendiri perintah itu (shalat) dari Allah SWT. Sampai harus isra’ mi’raj.”

Lalu bertanya lagi sambil mengulurkan mic. Tujuannya masih ke santriwati yang sama, di sebelah kanan Gus Mus, agak belakang. Sedangkan di kirinya adalah santriwan -- santri laki-laki.

“Selain shalat, maknane opo (maknanya apa).”

“Kalau memandang sebagai kewajiban, kalau tidak wajib tidak dilaksanakan.”

Dengan mengenakan pakaian serba putih, Gus Mus lantas bercerita soal pengalaman di masa lampau.

Di masa orde lama. Ketika Presiden Rebuplik Indonesia (RI) masih dijabat Ir Soekarno, Gus Mus “muda” hobi mengumpulkan alamat bintang film dan para menteri.

Gus Mus rela menabung demi bisa ke Jakarta, Ibu Kota Negara, untuk bisa bertemu menteri.

“Mau lihat menteri kaya apa (wajahnya).”

Gus Mus menimbang-nimbang, mau menteri apa dulu yang ditemui. Dengan berbagai pertimbangan, pilihannnya pada menteri agama (menag).

“Jatunya pada menteri agama. Alasannya ming (hanya) silaturahmi. Banyak pahala,” cerita Gus Mus diiringi ketawa hadirin, rombongan pengajian.

Lantas Gus Mus mendapat alamat rumah menag saat itu, tanpa menyebut nama.

Rumahnya megah dipagar besi. Gus Mus mencoba mengetuk dan mengucap permisi tetapi juga tidak dibukakan. Ternyata rumah itu ada belnya. Dipencetlah. Keluarlah pembantu menteri, seorang perempuan.

“Ada apa,” tanya si pembantu.

Dalam batin, Gus Mus menyebut pembantu itu galak.

“Bapak ada,” timpalnya.

“Ada, mau apa?”

“Ya mau ketemu.”

“Ada urusan apa?”

“Ya mau ketemu saya.”

“Tidak bisa, bapak lagi istirahat.”

Bila pembantunya galaknya seperti itu, lalu bagaimana dengan menterinya. Begitu gumam Gus Mus yang juga pendiri salah satu partai besar di Indonesia ini.

Beliau pun mencoba untuk menemui sang menteri di kantor, atas saran orang perempuan tersebut.

Pagi-pagi, Gus Mus menuju Kantor Departeman Agama (saat itu belum Kemenag). Alamatnya masih di Tamrin.

Gus Mus menjalani serangkaian prosedur. Bertemu dengan sekretaris pribadi (sekpri) menteri. Gus Mus disodori formulir untuk diisi. Mulai dari nama, alamat, pekerjaan, asal usul, termasuk keperluan menghadap dengan menteri.

“Saya tulis silaturahmi.”

Isian formulir tersebut diteliti sekpri.

“Apa itu silaturahmi. Silaturahmi, memang hari raya,” kata sekpri seraya meremehkan.

Gus Mus muda pun ditolak.

Beliau meninggalkan kantor menag. Kembalinya ke kantor PBNU. Pagi-pagi, di hari kemudian, Gus Mus mencoba lagi. Semangat tak surut. Pantang menyerah untuk bisa berjumpa.

Isian dalam formulir soal kepentingan atau keperluannya pun diganti.

Gus Mus menulis “Urusan Keluarga”. Sekprinya pun teliti. Menanyakan dibalik makna perihal tersebut.

“Sama menteri pernah apa?”

Mendengar lontaran kata dalam ceramah tersebut, jamaah tertawa.

“Sekprinya malah tambah ngamuk. Jangan main-main dengan menteri. Menteri mengurus orang se-Indonesia.”

Pantang pulang sebelum berpapas. Itu dijalani Gus Mus selama satu bulan. Tiap pagi selalu mencoba menemuinya. Begitu kegiatan rutinnnya saat masih di Jakarta, kala itu.

Setiap menghadap sekpri, kepentingannya selalu ditulis berbeda, tiap pagi. Tapi masih saja ditolak. Selalu ditolak, mentah-mentah.

Tiap hari Gus Mus mikir, agar diisi kepentingan apa? agar bisa diterima untuk bisa “menghadap” menteri.

Yang terakhir Gus mus mengisi, menyampaikan “amanat.”

“Amanat apa,” tanya sekpri.

“Ya tak bisa disampaikan kepada bapak (sekpri). Ini amanat untuk menteri.”

Jamaah ketawa kembali.

“Ya sudah tiga menit saja,”

Akhirnya dapat disposisi. Gus Mus menduga, disposisi tersebut karena bosannya sekpri melihat tiap pagi. Atau memang karena kepentingan itu: menyampaikan amanat.

Gus Mus dipersilahkan masuk.

Tiba di dalam ruangan, kursi menterinya tinggi, sedang diduduki. Di depannya ada empat macam minuman. Nikmatnya jadi menteri.

“Ada amanat apa,” kata menteri, yang sebelumnya sudah membaca isian formulir atau daftar hadir perihal kepentingan Gus Mus.

“Ada salam dari kawan-kawan dari Rembang.”

Gus Mus tidak panjang lebar dalam menemui menteri. Tak dimanfaatkan lama-lama. Hanya menyampaikan kata singkat tersebut.

Menteri bertanya lagi ke Gus Mus.

“Tidak ada urusan lain.”

“Tidak,” jawab Gus Mus singkat.

Lalu pamit. Tidak sampai tiga menit seperti waktu dijadwal sekpri. Gus Mus hanya satu menit menghadap. Karena niatan awalnya ingin melihat wajahnya menteri.

“Jane meh weruh rupane menteri, ning yo saru nek disampaikan (Hanya untuk melihat wajah menteri, tapi tidak patut kalau disampaikan),” cetus Gus Mus yang diiring tawa.

Di lain waktu, jeda lama dari pertemuan itu, setelah Gus Mus terkenal, Gus Mus mendapat kesempatan untuk menyampaikan tausiah haul menteri tersebut.

Gus Mus tak lupa menceritakan tentang sosok sekpri menag yang pernah dulu temui. Lengkap dengan sikapnya. Yang menurut Gus Mus "galak".

Sesaat selesai ceramah, Gus Mus dihampirinya seraya memohon maaf. Mengingat dalam ceramahnya, Gus Mus menyatakan akan memperhitungkan sikap sifatnya (sekpri) di yaumul hisab nanti.

Setelah memohon maaf, Gus Mus meng-cancel, mengurungkan niat untuk mempersoalkannya di hari perhitungan nanti.

“Tidak jadi saya persoalkan di yaumul hisab."

Lalu, di zamdan orde baru. Ada acara konferensi massa media, Gus Mus ikut hadir. Menjelang akhirnya acara, semua yang ikut dan panitia, diminta untuk menghadap Presiden Soeharto ke Istana Negara, esok harinya.

Gus Mus harus berupaya pakai pakaian sekeren mungkin. Secara protokoler saat itu pakaiannya jas. Gus Mus sampai mencari-cari pinjaman.

Kulo golek silihan jas (saya sampai cari pinjaman jas),” akunya.

Untuk sampai Istana, Gus Mus dan lainnya, jumlah total sekitar 500 orang, termasuk delegasi dari negara lain, dijemput menggunakan bus AC.
                 
Sampai Istana, Presiden ke-2 Rebuplik Indonesia (RI) tersebut berdiri dengan didampini Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Murdiono.

Untuk bisa salaman pun harus mengantre panjang. Harus bersabar menunggu giliran.

Pada saatnya kesempatan pun tiba. Gus Mus mengaku, biasanya melihat fotonya Soeharto yang tersenyum, saat itu bisa ketemu langsung.

“Saya gak sabar, selak (keburu) salaman dengan presiden. Antrine,” aku Gus Mus.

Giliran di depan Presiden yang memimpin Indonesia selama 32 tahun itu pun tiba, tidak ada kata-kata panjang yang disampaikan. Hanya singkat menyapa.

“Apa kabar,” sapa Pak Harto saat berjabat tangan.

“Baik pak,” jawab Gus Mus.

Saat kedua tangan itu bertemu, Gus Mus berkata dalam hati “Wah tangane alus (Wah tangannya halus).”

Hasil dari jabat tangan itu sering dicerikan Gus Mus hampir ke setiap tamu yang datang ke rumahnya.

Angger ono tamu tak ceritake (Setiap ada tamu saya ceritakan).”

Cerita itu selalu terdengar istrinya, saat itu, yang sering mengomentari bila moment bersalaman dengan Soeharto diceritakan ke setiap tamu.

“Bayangno, dapure menteri ae dilabuhi sak wulan mendedet, dikasih 3 menit tok. Dapure presiden, apa kabar. Diceriakno mingguan, saking senenge (Bayangkan, se-kelas menteri saja sampai rela berkorban satu bulan, diberi waktu 3 menit saja. Se-kelas presiden, apa kabar. Diceritakan mingguan, terlalu senangnya).”

“Nah iki (ini) presiden. Presidene presiden. Tidak usah ngisi formulir, bisa ketemu kapan saja. Malah open house lima kali sehari. Paling presiden setahun sekali.”

“Ini lima kali open house. Bukan hanya lima kali sehari open house. Ora wahaye sowan yo kenek sowan (Tidak waktunya mengadap bisa menghadap). Tengah wengi (sowan) malah sepi. Gak ono kancane (Tidak ada temannya).”

“Ora mok trimo apa kabar. Ayo jaluk opo, nduwe hajat opo. Ditawani, sing ditawani ngorok (Bukan hanya apa kabar. Ayo minta apa, punya hajat apa. Ditawari, yang ditawarin malah tidur pulas).”

MasyaAllah, wong dapure presiden senenge ngono kuwi. Nah iki Gusti Allah saben saat. Saget sowan, saget matur nopo-nopo, ya Allah (Kelasnya presiden saja senangnya kayak gitu. Nah ini Gusti Allah setiap saat. Bisa menghadap, bisa bilang apa saja, ya Allah).”

Lalu Gus Mus berkata lagi.

“Shalat itu anugerah yang luar biasa.”

“Coba kamu sekarang ketemu Gubernur, Ganjar, bulet kowe nek iso ketemu (muter-muter kamu kalau bisa ketemu). Ketemu sini, ketemu sana, mengisi formulir. Opo meneh kok nemuni Jokowi. Tambah ribet eneh kowe. Gak iso ketemu (Apa lagi ketemu Jokowi. Tambah rumit lagi kamu. Tidak bisa ketemu),” jelas Gus Mus panjang lebar.

Iki sak wayah-wayah. Lha ngono kok aras-arase, lucu (Ini setiap waktu. Lha begitu kok malas, lucu). Diterima oleh (Yang) begitu besar, sementara kita begitu kecil, kok gak semangat. Aras-arasen (bermalas-malas).”

“Kenapa? karena kita mengangap itu kewajiban. Ini bukan kewajiban. Ini kebanggaan kita. Kita bisa mi’raj setiap saat.” (titahkita.com)

SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
“Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." HR. Muslim no. 1893

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel