Proses Ikhlas Imam Ghozali dalam Mengkaji Ilmu Agama
Gus Yusuf |
Proses Ikhlas Imam Ghozali dalam Mengkaji Ilmu Agama
---
TENTUNYA dalam beramal atau beribadah itu karena Allah SWT -- dengan
melihat seberapa kebutuhan kepada Allah.
Manusia itu butuh kepada Allah selamanya. Maka ibadah
sebanyak-banyaknya niatkan karena
Allah.
Dijelaskan Gus Yusuf atau KH Muhammad Yusuf Chudlori, berbuat sesuatu karena Allah -- ikhlas -- ada tingkatannya.
Gus Yusuf merupakan salah satu pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salafi Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.
Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid saat muda pernah nyantri di API saat diampu pendahulunya Gus Yusuf.
Dikatakan Gus Yusuf, dalam berbuat jangan sampai menunggu sampai ikhlas terlebih dahulu.
Kalau menunggu sampai ikhlas tidak jadi melakukan -- tidak jadi beraksi dalam
ibadah.
Dijelaskan, Imam Ghozali dalam sejarahnya saat bersama saudara
sekandung, Ahmad, dititipkan ayahnya kepada seseorang -- sahabat ayahnya.
Mereka saat dititipkan dikasih bekal -- saku.
Niatannya mereka bisa mengkaji ilmu Allah.
Tetapi dalam perjalanannya, uang sakunya habis. Sahabat ayahnya tak kuat
membiayai.
Lalu oleh sahabat tersebut dicarikan semacam pondok pesantren yang
gratis. Yang penting bisa untuk makan secukupnya tanpa harus membayar.
Mereka berdua waktu kecil masih bisa hidup, sambil ikut mengaji.
Baru saat besar, Imam Ghozali sadar, bahwa dari kecil di pondok niatan
awalnya untuk bisa menjaga kelangsungan hidup -- yakni makan.
“Saya di pondok itu ngaji, tapi niat pertamaku mbiyen nunut mangan,” ujarnya dalam video Youtube Gus Yusuf Channel.
Dalam pernyataan tersebut, dan juga di bawahnya, mayoritas Gus Yusuf menggunakan Bahasa Jawa. Tetapi agar mudah dipahami, titahkita.com mentransletkan sebagian menjadi Bahasa Indonesia.
Maka ilmu yang ada di pondok tidak bisa dipegang atau didapat. Karena
niatan awal bukan niat karena Allah semata.
Karena di pondok ada aktivitas mengaji, maka ilmunya perlahan yang mengajari ikhlas.
Karena di pondok ada aktivitas mengaji, maka ilmunya perlahan yang mengajari ikhlas.
“Akhire ilmu sing ngajari menjadi ikhlas, lilahi
ta’ala.”
Begitu usai dari pondok, akhirnya Imam Ghozali menjadi ulama besar.
Itu juga butuh proses.
Dijelaskan, Imam Ghozali sendiri mengakui. Masuk pondok hanya untuk menjaga kelangsungan hidup tadi.
“Tapi akhirnya Imam Ghozali mengaji, dituntun dengan ilmu. Diberitahu
oleh ilmu.”
"Kamu kalau mau mendapatkan saya (ilmu), ya kamu harus ikhlas karena
Allah.”
Lambat laun Imam Ghozali jadi ikhlas.
“Maka ikhlas itu proses. Tidak bisa serta merta.”
Misalnya, di antara kita hendak berangkat ke mushala atau masjid untuk
shalat jamaah. Berpapasan dengan teman yang menilai riya atau pamer.
“Wah gasik kang, pamer.”
Ditegaskan Gus Yusuf, walau dinilai riya -- pamer -- tetap saja berangkat. Tidak usah didengarkan.
“Dari sedikit dari sedikit, nanti tidak akan terasa, menjadi lilahi ta’ala, karena Allah ta’ala.”
“Awalnya harus begitu.”
Saat santri menghafal Alfiah, niatan awal untuk menjadi juara pondok
pun tidak masalah. Ini bisa menjadi penyemangat. Perlahan bisa karena Allah
semata.
“Kalau (langsung) mencari ikhlas, kapan akan mulai?”
Begitu pun saat hendak membangun masjid. Sedekah Rp 100 ribu ikhlas.
Sedekah Rp 100 juta tidak ikhlas.
Tentunya panitia pembangunan akan memilih yang banyak -- Rp 100 juta.
Menyumbang Rp 100 juta diumumkan tidak apa-apa.
Lama-lama bisa lupa. 50 tahun lagi.
“Mending
Rp 100 juta tidak ikhlas, lambat laun jadi ikhlas,” ujarnya dihadapan para santri yang mengkaji Kitab Ayyuhal Walad di hari ke-6.
“Ikhlas kudu dipaksa, kalau sedekah seribu saja, kapan akan
meningkat.”
Dipaksa jadi Rp 10 ribu. Naik lagi jadi Rp 50 ribu. Naik terus jadi Rp 100 ribu.
“Tapi (butuh) latihan, biar mundak
kelas.”
“Ikhlas urusan kita dengan Allah. Ikhlas itu dipaksa dari sedikit, ra bakalan biso langsung.”
Dadi Ora Usah Ngoyo-oyo
Ada istilah “urip mung mampir ngombe” -- hidup hanya mampir untuk minum. Meminum air yang tersaji di gelas membutuhkan waktu sebentar -- hanya beberapa tegukan. Singkat sekali.
Kalau airnya dingin atau hangat, terus dalam kondisi haus, maka dalam sekejap air bisa habis diminum.
BACA JUGA: Kalau ini Minuman yang Hot Herbal
Begitu pun hidup. Perkara yang singkat. Misal, kini sudah berusia 40 tahun. Waktu dulu anak-anak atau seusia sekolah dasar serasa seperti kemarin pagi.
BACA JUGA: Kalau ini Minuman yang Hot Herbal
Begitu pun hidup. Perkara yang singkat. Misal, kini sudah berusia 40 tahun. Waktu dulu anak-anak atau seusia sekolah dasar serasa seperti kemarin pagi.
Ujug-ujug wis umur semene -- tiba-tiba sudah umur segini. Begitu perasaannya.
Atas hal itu -- hidup di dunia singkat -- maka dalam bekerja pun sekuat tenaga saja. Semampunya saja. Jangan sampai “ngoyoworo”.
Dalam bekerja mencari harta bisa dikira-kira, akan sampai kapan hidup di alam dunia ini? Tentunya tidak lama.
Sementara kalau ibadah semaksimal mungkin. Bayangkan akan sampai berapa lama hidup di akhirat? Tentu akan lama -- kekal, abadi.
“Jadi jelas, hidup di alam dunia ini paling cepat ya umur 80 tahun saja sudah istimewa. Sekarang umur 60 saja sudah ngoyo. Mengejar sampai 60 tahun sudah mengkis-mengkis, belum ketabrak corona saat ini. Banyak umurnya yang tidak sampai (60 tahun),” kata Gus Yusuf dalam kajian.
Ditegaskan, kalau mau bekerja, bekerja saja. Ada batas waktu hidup di tanah air bumi ini.
“Dadi ora usah ngoyo-oyo.”
Sementara kalau mencari bekal untuk hidup di akhirat harus dimaksimalkan. Karena sebagai “uang saku” selamanya. Di akhirat -- tidak ada akhirnya.
Ada pepatah, bekerjalah seolah akan hidup selama-lamanya. Beribadahlah seolah-olah akan mati esok hari.
"Kalau dibayangkan ya tidak jadi bekerja," tandasnya.
“Sudah hendak bekerja, tapi teringat akan meninggal besok pagi, ya tidak jadi bekerja.”
"Kalau dibayangkan ya tidak jadi bekerja," tandasnya.
“Sudah hendak bekerja, tapi teringat akan meninggal besok pagi, ya tidak jadi bekerja.”
“Dunia jangan dineme-nemeni, golek donyo keno, menjadi orang kaya boleh.”
Menjadi orang kaya pun perlu syarat. Cara menjadi kaya harus betul, dicari dengan jalan halal. Pemanfaatannya juga benar -- penyalurannya sesuai ketentuan agama.
“Tapi ya dibayangkan, hartanya digunakan hidup, selama-lamanya 80 tahun.”
Usai Nabi Muhamamad SAW pun tidak sampai 80 tahun.
“Dadi ora usah nemen-nemen (dalam mencari harta).”
“Sementara ibadahmu, iki sing kudu dinemeni. Karena akan digunakan sebagai bekal selama-lamanya (di akhirat).” (titahkita.com)
SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA
“Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." HR. Muslim no. 1893
0 Response to "Proses Ikhlas Imam Ghozali dalam Mengkaji Ilmu Agama"
Post a Comment